Satu Meja Tiga Kursi

Penuh juga ruang tunggu praktek dokter ini. Maklum, dokter jantung senior. Pengalaman, ilmu dan kebaikan hatinya sudah tersebar. Tak heran kalau banyak pasien yg sudi antri untuk berkonsultasi padanya.
Aku memilih duduk di salah satu sudut ruang. Ada satu meja kecil di sudut tembok dan tiga kursi berjejer di sampingnya. Posisi yang tidak terlalu strategis, karena tontonan dari layar televisi tak tampak dari sini. Pantas saja tak ada yang memilih.
Aku duduk di kursi terdekat dengan meja. Maksud hati ingin mengistirahatkan badan barang sejenak. Namun mata ini menangkap surat kabar edisi sore yang menarik untuk dibaca.
“Dapat nomor berapa, Mas?” suara seorang perempuan mengejutkanku.
Kuturunkan surat kabar, dan nampaklah sosok perempuan manis duduk di kursi ketiga. Tas tangan diletakkannya di kursi kedua, yang ada di antara kami.
“Nomor 27,” jawabku sopan. Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Mbak berobat juga?” tanyaku balik.
Dia menggeleng tanpa memberi detil jawaban. Seorang anak kecil memperhatikanku dari balik badan orang tuanya. Tatapan matanya… entahlah. Antara tetarik, penasaran dan sorot takut. Kuabaikan saja.
“Sudah lama nunggunya?” dia buka suara lagi.
“Enggak, baru saja. Saya sudah daftar dari tadi siang. Jadi nggak terlalu lama nunggu, ” jelasku.
“Mbak staf di sini?” tanyaku basa-basi. Kembali, dia menggeleng.
“Saya dulu pasien di sini, Mas. Bisa dibilang, pasien tetap. Klep jantung saya bermasalah. Sering ke sini. Jadi dokter, perawat dan yang lain sudah seperti keluarga,” ujarnya. Kali ini aku yang mengangguk-angguk. Anak kecil tadi masih saja memperhatikanku. Kali ini agak takut-takut.
“Mas keluhannya apa?”perempuan itu kembali bertanya.
“Sering nyeri di sekitar jantung. Saya dapat rekomendasi ke sini. Diperiksakan secepatnya. Takutnya ada apa-apa,” refleks aku memegang dada sebelah kiri.
“Betul, Mas. Diperiksakan sejak dini. Untuk yakinnya. Dokternya baik, kok,” dia kembali tersenyum. Senang juga kalau dapat teman bicara seperti ini.
“Nomor 27!” suara resepsionis menyebut nomorku.
“Giliran saya, Mbak,” aku meletakkan surat kabar di meja sembari berdiri.
“Semoga jantungnya sehat-sehat saja, Mas,” ujarnya memberikan semangat.
“Terima kasih, Mbak,” aku melemparkan senyum sambil undur diri. Anak kecil tadi mengikuti langkahku dengan tatapannya. Sorot matanya masih sama seperti tadi.
Sebelum masuk ruang dokter, ekor mataku masih menangkap sekelebat sosok perempuan teman bicara. Mengambil tas tangannya, berdiri dan berlalu.
Pergi. Menembus tembok tak jauh dari meja dan tiga kursi tempat kami tadi berada.

Tinggalkan komentar