“Bang, baksonya satu, dibungkus. Yang komplit, ya,” pesanku.
Sang Abang mulai memasukkan bakso, tahu dan lainnya ke dalam kantung plastik. Tak lama, pesananku selesai. Aku mengulurkan beberapa lembar uang kertas lusuh karena sering berpindah tangan serta beberapa uang koin. Transaksi selesai, aku berlalu.
Gerimis mulai turun. Aku mendekap erat plastik berisi bakso. Panas, memang. Tapi aku tak rela plastik itu jatuh dan isinya tumpah gara-gara keteledoranku. Aku berjalan cepat menyusuri jalan raya tanpa mengurangi kehati-hatian.
Aku tiba di sebuah kolong jalan layang. Bertemu seseorang yang beberapa hari lalu hampir tertabrak mobil.
“Nenek… Nenek masih ingat saya? Saya Jono, Nek,” aku menyapa beliau.
Si Nenek berusaha mengenali wajahku. Ah, sepertinya dia tak ingat.
“Ini saya bawakan bakso buat Nenek. Masih hangat,” aku mengangsurkan plastik berisi bakso. Si Nenek menerima dengan tangan bergetar.
“Terima kasih, Nak. Sudah repot-repot belikan Nenek bakso,” senyum menghias wajah tuanya.
Aku tersenyum dan pamit sejurus kemudian. Kembali ke jalan raya sambil menenteng gitar kecilku. Berusaha kembali mengais rejeki dan menyisihkan sedikit untuk nenek tua yang sepertinya sebatang kara.
*terharu*
*hiks*
ikut terharu…
Menular…
so nice :”) jarang ada yang seperti itu..dan bersyukur gak nemu sadis di sini 😉 hehehe
Terima kasih sudah berkunjung 🙂
Terimakasih sudah mengingatkan betapa mulianya berbagi:)
Sama-sama. Terima kasih sudah berkunjung 🙂
rada mak cless baca ini setelah muntah-muntah baca tulisan-tulisan sebelumnya.
eh tapi ini nggak ngetwist ya Yu 😀
Ho oh, Mbak. Ndak ngetwist. *nyodorin bakso*
Ho oh, Mbak. Ndak ngetwist. *sodorin bakso*