Anakku

family_holding_hands-silhouette

“Kamu yang sabar, ya. Banyak berdoa dan sedekah.”

“Sudah berapa tahun, sih? Kok belum punya anak?”

“Mandul, ya?

“Angkat anak aja. Buat pancingan.”

Deretan pertanyaan dari yang menguatkan hati hingga yang sanggup membuatku bunuh diri mulai berdatangan di tahun ketiga pernikahan kami. Semakin tahun, semakin banyak pertanyaan menghampiri.

Awalnya aku, juga mas Tino suamiku, masih adem ayem menanggapi. Kami sudah memeriksakan diri ke dokter, dan kondisi kami dinyatakan sehat. Anak itu rejeki, dan rejeki adalah rahasia Tuhan selain umur dan jodoh.

Namun, semakin bertambah tahun dan tetap tak ada derai tawa dan tangis bocah di rumah, kami menjadi goyah. Ralat. Bukan kami, tapi aku. Ya, aku. Deretan pertanyaan yang datang semakin banyak dan semakin menyakitkan hati, alih-alih memberikan semangat atau perhatian. Pun keimanan yang fluktuatif dari hari ke hari, sungguh membebani pikiranku.

“Mas, apa sebaiknya kita angkat anak saja, yah? Buat pancingan,” ujarku suatu hari pada mas Tino. Dia tersenyum.

“Dik, aku terserah kamu. Tapi, kalo alasannya untuk pancingan, Mas nggak setuju,” jawabnya. Aku berkerut kening.

“Kenapa, Mas? Mas nggak mau punya anak?” nadaku sedikit tinggi.

“Bukan begitu. Mas cuma nggak sreg dengan alasan ‘pancingan’. Anak itu amanah, Dik. Siapapun dan dari manapun anak itu. Jabatan tertinggi yang bisa disandang manusia adalah menjadi orang tua. Entah itu anak kandung atau bukan. Kenapa? Karena pertanggungjawabannya bukan ke manager, bos ataupun para pemegang saham, tapi langsung ke Sang Pencipta. Kalaupun pada akhirnya kita mengangkat anak, Mas ingin anak itu benar-benar akan jadi anak kita, layaknya anak kandung. Bukan hanya anak pancingan, walaupun mungkin setelah kehadirannya, kita lalu dikaruniai anak kandung,” detil mas Tino. Aku tercenung.

“Niat, Dik. Mulailah segala sesuatu dengan niat yang baik. Walaupun pelaksanaannya juga harus baik, tapi niat sebagai fondasi itu yang utama,” lanjutnya. Mukaku kusut.

“Aku bingung, Mas. Apa rencana Tuhan, ya? Apa aku tidak layak untuk jadi ibu buat anak-anakku?” mataku mulai berkaca-kaca. Mas Tino mengelus kepalaku.

“Kamu tahu, Dik? Kamu adalah orang yang paling layak jadi seorang ibu. Kamu adalah perempuan yang memiliki kasih sayang yang berlimpah dan tak terhitung. Sedemikian banyaknya, hingga kasih sayang itu akan mubazir untuk diberikan hanya bagi anak kandungmu sendiri. Kasih sayang yang kamu punya bisa menghangatkan hati banyak anak-anak yang kehausan. Kamu pasti nggak pernah menyadari itu,” kembali mas Tino berujar.

Air mataku tumpah. Bertahun-tahun hidup seatap dengan laki-laki sebaik ini sepertinya jarang aku syukuri. Ketika terlalu peduli dengan deretan pertanyaan yang menyiksa batin, aku justru abai dengan dukungan sosok yang tak lelah mendampingiku.

Sepertinya, aku harus memulai hidup baru. Meenata hati, niat dan langkahku.

*

Hari ini ulang tahun kesepuluh pernikahan kami. Mas Tino duduk di sampingku. Kami saling tatap. Saling menguatkan.

“Kamu sudah yakin, Dik?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Niatku sudah bulat, Mas. Niat yang baik,” aku menjawab sambil tersenyum.

Sejurus kemudian, kami keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah bercat putih dengan papan berukuran sedang di halaman yang bertuliskan ‘PANTI ASUHAN’.

Total: 473 kata

16 thoughts on “Anakku

  1. Meskipun penantian panjang itu tak kunjung tiba , namun kesabaran itu akan terpetik buahnya nanti,, namun entah kapan nantinya itu.. hihihi

Tinggalkan Balasan ke jampang Batalkan balasan