Menunggu lampu hijau

Aku duduk sendiri di sebuah kedai makan di pasar Ateh. Berteman seporsi nasi Kapau. Nasi dari beras nomor satu Bukittinggi, gulai sayur nangka, gulai tunjang, dendeng balado, sambal lado hijau dan segelas teh tawar. Jendela kaca besar di depanku membingkai jam gadang yang tersohor dengan latar mentari yang hendak tenggelam. Sungguh sempurna, seharusnya.

Walaupun jam makan siang sudah lewat berjam lalu, tapi nafsu makanku seolah lenyap entah kemana. Hanya rindu. Padamu. Orang yang ingin ku temui setelah melewati rangkaian perjalanan darat dan udara.

“Mas mau ke Bukittinggi?”

“Iya. Mas ingin berkenalan dengan keluargamu.”

Percakapan seminggu lalu masing terekam kuat di kepala. Ada jeda panjang, seolah kamu ragu.

“Umm..Mas menginap dimana? Rasanya tak mungkin kalau menginap di rumahku. Mas tahu maksudku, kan?”

“Mas tahu. Mas sudah pesan hotel.”

Ada hembusan lega.

Dan, disinilah aku sekarang. Menunggumu datang. Berusaha memaksakan suap demi suap nasi Kapau ini masuk ke dalam mulut. Tanpa bisa berhenti berharap kamu segera muncul.

Aku datang dengan niat baik. Berkenalan dengan keluargamu. Aku tahu, kamu pasti akan mengenalkanku sebagai teman, bukan kekasih. Tak apa. Aku tak akan memaksa. Karna ini pasti sulit bagimu. Aku hanya menunggu lampu hijau. Sampai pada waktunya kamu benar-benar siap.

Aku masih berkutat dengan piring, ketika seorang laki-laki memasuki kedai. Tinggi ramping, berkulit langsat dan berbaju rapi. Dari balik kacamata, dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hingga akhirnya dia menangkap sosokku di depan jendela.

Tersenyum manis. Pun demikian denganku. Ada rindu dimatanya.

Ah, akhirnya kamu datang juga.