Jingga diujung senja

 

Aku duduk di salah satu kursi yang menghadap sungai. Restoran terapung masih sepi sore ini. Hanya beberapa orang yang sepertinya sama denganku, pendatang yang bertamu. Memesan pempek dan segelas teh tawar penghangat raga.

Kembali tercenung. Entah nostalgia atau semacam dejavu. Setelah dua puluh tahunan berlalu, aku kembali ada disini. Tempat menghabiskan sebagian masa kecilku. Yang riang dan bahagia. Seharusnya.

Aku hanya anak yang ikut kemana ayah dan ibu mencari rejeki, hingga ada di kota ini. Malu-malu mengenalkan diri di depan kelas dengan seragam putih merah yang masih baru. Beruntunglah, aku dikelilingi teman-teman yang begitu baik. Juga kamu diantaranya.

Pesanan datang membuyarkan lamunan. Uap panas menguarkan aroma khas. Tak ayal menyeretku kembali lagi ke masa lalu. Padamu, yang beribu seorang maestro kuliner berkuah cuka.

“Cobalah, Nak…”

Nikmatnya tak pernah hilang dari kepala. Mencandu. Berbuah rindu. Karena tak ku jumpai yang mampu menandinginya. Sejauh ini.

Matahari tak nampak lagi. Tapi sinar emasnya menyinari jembatan Ampera dengan cantiknya. Lukisan indah Sang Maha Kuasa. Saat yang sama ketika ibumu memanggil kita untuk pulang. Anak-anak yang tak pernah lelah bermain sepulang sekolah.

Ah…apa kabar ibumu, teman? Rindu aku padanya. Perempuan yang padanya aku telah berdosa besar. Besar sekali. Aku yang telah merebutmu darinya. Mengajakmu bermain di tepi sungai Musi. Aku yang tak tahu bahwa anaknya tak mahir mengapung di air. Aku yang hanya tertawa lebar ketika anaknya berteriak minta tolong dari derasnya sungai. Aku yang akhirnya tercenung dan ketakutan ketika anaknya menghilang ditelan arus.

Sampai kini.

Aku.

Pembunuh.

Maafkan aku.