Labeling

Pernah dengar seseorang diberi label? ‘Anak nakal’, ‘Anak pintar’, ‘Orang bijak’, ‘Orang jahat’, ‘Perempuan murahan’, ‘Suami tukang selingkuh’, ‘Orang alim’, dll. Pasti pernah, kan?

Bisa jadi orang sudah terbiasa dengan labeling ini. Dari masih kecil, manusia sudah diberi label. Anak bungsu yang manja, misalnya. Mungkin terdengar cute dan unyu. Tapi, tahukah dampak jangka panjangnya? Berapapun umurnya kelak, bisa jadi dia akan selalu menjadi anak bungsu yang manja. Dengan segala konotasi positif dan negatifnya.

Ambil contoh lain. Anak pintar. Siapa yang tidak mau dapat label ini? Namun, yang terjadi selanjutnya, dia akan berusaha tetap ‘memiliki’ label tersebut. Dengan berbagai cara. Masih bagus jika dia tetap terus belajar tanpa henti. Tapi jika sudah mulai menghalalkan segala cara, seperti mencontek, plagiat, dll? Pun tak mau ambil resiko agar tak terlihat bodoh. Demi sebuah label ‘anak pintar’.

Mungkin saya salah pakai kacamata. Melihat dampak negatif dari sebuah labeling. Karena sejatinya, labeling bak dua sisi mata pisau. Labeling juga berdampak positif, kok. Dengan memberi label ‘anak pintar’, diharapkan si anak akan tetap dan teus meningkatkan prestasinya. Itu harapan orang banyak. Tapi bagaimana jika sebaliknya, seperti yang saya ceritakan diatas? Kemungkinannya 50:50.

Then, jika kemungkinan antara dampak positif dan negatifnya sama besar, kenapa tidak kita mulai saja kebiasaan baru? Dengan hanya memanggil nama mereka tanpa embel-embel label, misalnya. Toh, setiap orang tua memberikan nama yang indah bagi anak-anaknya, bukan? Karena dalam setiap nama pemberian orang tua, ada doa dan harapan didalamnya.

2 thoughts on “Labeling

Tinggalkan Balasan ke christianpramudia Batalkan balasan